[Karya Twinners] Dea

Dea
Karya Hastira Soekardi



            Pagi ini seperti biasa aku ada di depan pintu kelas menugggu anak-anak datang. Sudah hampir lima tahun aku mengajar di TK Pertiwi. Entah mengapa aku begitu suka melihat keceriaan anak-anak. 

 
            “Pagi, Bunda," sapa Sasha. Aku tersenyum dan menyambut tangannya yang sudah dicium olehnya. Satu per satu anak-anak berdatangan. Aku menjulurkan kepalaku ke halaman depan, belum tampak Dea. Dia selalu datang telat atau mepet waktu bel masuk. Dea itu terlalu pediam dan ada kecemasan yang selalu dia perlihatakan. Beberapa kali aku melihat ada memar di tubuhnya tapi Dea selalu bilang kalau dia terjatuh di rumahnya. Aku melihat Dea berlari ke arah kelas dan tampak dari kejauhan mamanya melihat ke arah Dea.
            “Pagi, Bunda,” suaranya terengah-engah.
            “Pagi, Dea,” sapaku. Aku memegang tubuh Dea dan melihat ada memar biru di lehernya.
            “Ini kenapa Dea?” Aku memegang memar itu dan Dea menjerit kesakitan. Aku segera membawa Dea ke ruang UKS. Aku mulai mengompres memar Dea dengan air dingin. Dea meringgis kesakitan.
            “Ini terjatuh lagi?” tanyaku sangsi. Dea mengangguk ragu dan tampak manik matanya terlihat cemas sekali. Aku peluk dirinya erat-erat, aku tahu ada yang dia sembunyikan. Terdengar suara isakan kecil darinya.  Aku mengeratkan pelukan untuk menenangkannya. Ah, sekecil ini dia harus menerima beban berat. Ada perasaan nyeri di hatiku. Aku harus cari tahu, apa yang terjadi pada Dea.

            Sampai suatu hari saat aku mengajak anak-anak untuk kerja bakti membereskan kelas. Aku membagi anak-anak tugas yang berbeda. Ada yang mengelap kaca, mengelap meja, menyapu, dan membersihkan papan tulis. Waktu itu aku mengambil beberapa buah sapu dari ruang peralatan di gudang. Waktu masuk kelas dan aku mengangkat sapu dan akan menyerahkan pada Dea, aku begitu terkejut dengan reaksi yang diperlihatkan Dea. Dea begitu ketakutan dengan sapu dan menjerit begitu keras.
            “Ampun Mama, ampun Mama, Dea gak mau dipukul,” teriaknya. Aku terperangah sekejap dan secepat kilat aku turunkan sapu dan membawa Dea keluar dan aku peluk erat. Dari bibir mungilnya dia menceritakan kalau dia sering dipukul mamanya dengan sapu. Ah, begitu ceritanya. Pantas saja dia begitu takut melihat sapu yang diangkat ke atas olehku, dikiranya aku hendak memukulnya. Aku peluk erat tubuh mungilnya, tak terasa titik-titik air mataku turun perlahan. Ah, Dea ingin aku melindungi dirimu.  

            Aku mengantarkan Dea pulang dan memberitahu ibunya apa yang Dea alami di sekolah. Aku melihat mamanya. Tampak banyak beban yang harus dia hadapi sendirian dan ada beban yang tak bisa dia tanggung sendiri. Ah, mamanya terlalu menderita sehingga dia mampu berbuat kejam pada diri Dea. Tanpa disuruh mamanya menceritakan semua tentang Dea.
            “Kasihan Dea, Bu. Dia butuh kasih sayang. Jangan sakiti dia, dia tak tahu apa-apa, dia tak berdosa. Kalau ibu membenci ayahnya, jangan biarkan Dea menderita. Dia harta ibu yang paling berharga,” tukasku.  Mamanya tercenung sejenak ada bulir-bulir air matanya yang turun. Aku berpamitan pulang. Ada sedikit keraguan untuk meninggalkan Dea. Aku takut Dea mengalami kekerasan lagi. Kembali aku peluk erat-erat tubuhnya.

            “Kamu baik-baik saja ya. Kalau ada apa-apa ke Bunda saja ya,” tukasku. Aku pulang sambil membawa sejuta harapan agar Dea diperlakukan dengan kasih sayang. Aku membalikan tubuhku. 
Kulambaikan tangan padanya....

*tulisan dan foto dari http://fiksitira.blogspot.com/2015/06/dea.html

Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar